Menyusuri Negeri Dua Benua: Dari Sejarah Islam Hingga Pesona Alam Turki

Dipublikasikan pada 10 November 2025 oleh Admin

Haghia Sophia

Kalau ada satu negara yang bisa membuat hati terenyuh dan mata terpukau dalam waktu bersamaan, maka jawabannya adalah Turki. Negeri yang berdiri di dua benua ini bukan hanya kaya akan sejarah, tapi juga menyimpan nuansa spiritual yang kuat bagi siapa pun yang datang setelah menunaikan ibadah di Tanah Suci.

Aku masih ingat jelas, hari itu kami baru saja menyelesaikan rangkaian ibadah di Makkah dan Madinah. Hati kami terasa tenang, tapi juga belum ingin langsung pulang. Kami ingin melanjutkan perjalanan, bukan sekadar berlibur, tapi menyelami lebih dalam jejak sejarah Islam. Dari situlah kami memutuskan untuk bergabung dalam program umroh plus turki — keputusan yang akhirnya membawa kami pada perjalanan paling bermakna dalam hidup.

Begitu pesawat mendarat di Istanbul, udara dingin langsung menyapa. Langit sore itu kelabu, tapi kota ini punya pesona yang hangat. Dari jendela bus yang melaju pelan menuju pusat kota, menara-menara masjid tampak menjulang di antara gedung-gedung modern. Istanbul seolah berdiri di antara masa lalu dan masa depan — memeluk dua dunia sekaligus.

Tujuan pertama kami adalah Hagia Sophia, bangunan megah yang menjadi saksi sejarah panjang peradaban. Dulunya gereja, lalu masjid, kemudian museum, dan kini kembali difungsikan sebagai rumah ibadah. Saat melangkah masuk, suasana di dalamnya membuatku terdiam. Kubah besar, lantai batu, dan kaligrafi besar bertuliskan “محمد ﷺ” di atas pintu utama menghadirkan rasa haru yang sulit dijelaskan. Aku berdiri lama di sana, merasa seolah sedang memeluk sejarah yang hidup.

Tak jauh dari situ, kami berjalan menuju Masjid Biru (Sultan Ahmed Mosque). Masjid ini adalah permata Istanbul. Enam menara menjulang di bawah langit yang mulai berwarna jingga. Ketika adzan Maghrib berkumandang, semua aktivitas di sekitar masjid seakan berhenti. Aku duduk di tangga batu depan masjid sambil menatap langit. Ada kedamaian yang meresap dalam dada — tenang, teduh, dan begitu dekat dengan Allah سبحانه وتعالى.

Hari berikutnya, kami menyeberangi Selat Bosphorus, menghubungkan Asia dan Eropa. Dari atas kapal, pemandangan Istanbul tampak luar biasa. Bangunan tua, jembatan megah, dan burung camar yang beterbangan di langit menjadi perpaduan yang indah. Di tengah perjalanan, aku tersenyum pada suamiku dan berkata, “Lihat, di sinilah dunia bersatu.” Ia menjawab pelan, “Dan semoga hati kita juga selalu bersatu di jalan yang sama.”

Perjalanan kami berlanjut ke Bursa, kota yang lebih tenang tapi sangat bersejarah. Inilah tempat berdirinya awal kekhalifahan Utsmani. Di Masjid Ulu Cami, suasana begitu damai. Kaligrafi berusia ratusan tahun menghiasi dinding, dan cahaya matahari yang masuk dari jendela kaca membuat ruangan tampak hangat. Kami shalat dhuha di sana, dan entah kenapa air mataku menetes tanpa alasan. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengalir lembut ke dalam hati — rasa syukur yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.

Di Bursa juga terdapat Makam Osman Gazi, pendiri dinasti Utsmani. Di sanalah aku merenungi makna perjuangan. Seorang pemimpin yang memulai segalanya dari nol, dengan hanya berbekal iman dan keyakinan. Di tengah dunia yang kini serba cepat, kisah seperti ini mengingatkanku bahwa kejayaan sejati lahir dari ketulusan dan pengorbanan.

Dari Bursa, perjalanan dilanjutkan ke Cappadocia — dan di sinilah keajaiban alam benar-benar membuatku terpesona. Lembah batu, perbukitan berlapis warna pasir, dan gua-gua alami terbentang sejauh mata memandang. Kami bangun pukul empat pagi untuk naik balon udara. Saat matahari muncul perlahan dari balik gunung, langit berubah warna — dari ungu ke jingga, lalu menjadi keemasan. Dari atas, semua terlihat damai. Aku menatap ke bawah dan berbisik dalam hati, “Inilah lukisan ciptaan Allah سبحانه وتعالى yang paling indah.”

Selain pemandangan alamnya, Cappadocia juga memiliki Derinkuyu Underground City, kota bawah tanah tempat umat terdahulu berlindung. Berjalan di lorong-lorong gelap itu membuatku berpikir — betapa besarnya pengorbanan manusia untuk menjaga iman. Kadang, kita yang hidup di zaman modern ini justru lupa, bahwa keimanan perlu perjuangan juga, meski dengan bentuk yang berbeda.

Hari terakhir di Istanbul kami habiskan dengan berjalan di sekitar Galata Bridge dan Grand Bazaar. Di sinilah denyut kehidupan kota terasa nyata. Pedagang menawarkan karpet, rempah, hingga perhiasan khas Turki. Tapi di antara keramaian itu, selalu terdengar suara adzan yang mengalun dari menara masjid — pengingat bahwa di balik duniawi, ada panggilan untuk kembali.

Sore itu kami duduk di tepi Bosphorus, menatap kapal ferry yang melintas. Angin dingin membawa aroma laut, dan langit senja memantulkan warna keemasan di air. Suamiku menatapku dan berkata pelan, “Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat, tapi tentang hati. Tentang bagaimana kita menemukan kedamaian yang sejati.”

Dan benar. Turki bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah perjalanan jiwa. Setiap langkah di sana membuatku lebih paham bahwa keindahan sejati adalah saat mata melihat ciptaan Allah سبحانه وتعالى, dan hati mengingat kebesaran-Nya.

Ketika pesawat akhirnya lepas landas, aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu Istanbul mulai memudar di kejauhan. Tapi ada satu hal yang tetap menyala dalam diri — rasa syukur. Karena Allah سبحانه وتعالى telah memberi kesempatan untuk mengenal dunia ini bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati yang beriman.

Dan di situlah aku mengerti, bahwa perjalanan sejati bukan tentang sejauh apa kita pergi, tapi seberapa dalam kita menemukan makna di setiap langkahnya.

← Kembali ke Daftar Blog